Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia dan Kantor Perpajakan Australia (ATO) baru saja menandatangani nota kesepahaman untuk bersama-sama meningkatkan kerja sama di sektor aset digital. Masing-masing pihak sepakat untuk mendorong pertukaran informasi di ruang kripto guna menggenjot penerimaan negara.
Pada laman Kedutaan Besar Australia di Indonesia, terungkap bahwa melalui kolaborasi lintas batas ini, kedua belah pihak akan memiliki kemampuan untuk mendeteksi aset digital yang kemungkinan dimiliki oleh para wajib pajak.
Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama menjelaskan, kerja sama ini mencerminkan perlunya inovasi dan kolaborasi dalam operasionalisasi pajak untuk memastikan kepatuhan masyarakat.
“Baik DJP maupun ATO dapat berbagi data dan informasi terkait aset kripto dengan lebih baik. Meskipun kelas aset ini relatif baru, kebutuhan untuk memastikan perpajakan yang adil tetap penting guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan pendapatan bagi investasi publik di bidang infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan,” jelasnya.
Diduga kuat, kesepakatan ini merupakan salah satu efek positif dari diterimanya Indonesia sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF). November lalu, Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa dengan menjadi anggota FATF, Indonesia memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan negara lain, khususnya untuk mempersempit celah penghindaran pajak dan meningkatkan kerangka kerja anti pencucian uang (AML).
Bappebti Berencana Evaluasi Pajak Kripto
Penguatan yang dilakukan DJP ini terjadi di tengah rencana Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) untuk mengevaluasi penetapan pajak kripto. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan untuk menyesuaikan tinggginya minat masyarakat dalam investasi aset digital.
Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti Tirta Karma Senjaya mengatakan, pihaknya berniat untuk mengurangi besaran tarif pajak yang dibebankan pada investor kripto.
Sampai akhir Januari lalu, DJP telah berhasil mengumpulkan pajak kripto senilai Rp39,13 miliar. Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyebutkan sekitar Rp18,2 miliar berasal dari pajak penghasilan (PPh) pasal 22, sementara Rp20 miliar dari pajak pertambahan nilai (PPn) atas transaksi kripto.
Asisten Komisioner ATO Belinda Darling menambahkan, kemitraan antara ATO dan DJP bukanlah hal baru. Keduanya telah bekerja sama selama hampir dua dekade dan fokus saat ini adalah memperkuat sistem perpajakan serta meningkatkan kolaborasi untuk mengatasi tantangan global yang kompleks.
Beberapa inisiatif yang dijalankan bersama oleh DJP dan ATO termasuk modernisasi dan digitalisasi layanan wajib pajak melalui penyediaan asisten pajak virtual dan penerapan pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa digital.
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!
Penyangkalan
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.